Kenapa kita harus menua lantas mati? Pertanyaan ini selalu menari-menari di atas kepala gue bila sedang membaca kolom orbituary pada koran harian. Biasanya kalimat pembuka pada kolom-kolom orbituary itu gak jauh dari kata-kata klise seperti telah berpulang ke rumah Bapa di Surga bla-bla-bla-bla- semoga diterima di sisiNya bla-bla-bla-bla. tampak pula photo almarhum yang sudah renta, keriput, dan layu yang seolah-olah memang menyiratkan keinginan untuk menutup lembar kehidupan. Lelah. itu kesan pertama gue setiap kali melihat photo-photo pada kolom orbituary. Horor adalah kesan kedua bila ditatap terus selama 5 menit tanpa henti.
Kenapa kita harus menua lantas mati? Ah, lagi-lagi pertanyaan itu menghantam kepala gue.
Pertanyaan Kenapa kita harus menua lantas mati? mungkin seperti pertanyaan kenapa langit berwarna biru? kenapa matahari berwarna jingga? kenapa Anang dipanggil pipi oleh Aurel. malesin banget dengernya. Kesemuanya adalah pertanyaan retorika yang tidak memerlukan jawaban.
Rumah sakit Jantung harapan Kita.
Gue mengemudikan mobil, bokap duduk di sebelah tengah asyik dengan Blackberry-nya, adek gue yang bontot duduk di belakang lagi asyik sendiri dengan iPad-nya yang gak bosan-bosannya memutarkan koleksi video klip Justin Bieber. Oh Tuhan, bisakah kau kembalikan Kurt cobain dan ambil Justin Bieber sebagai penggantinya? Sementara nyokap sedang terlelap dalam tidur di samping adek gue.
Gue sekeluarga berencana menjenguk Amangboru gue yang jantungnya memang sudah sering komplikasi. Amangboru itu bukan nama binatang atau spesies mamalia, amangboru adalah sebutan orang batak untuk Suami dari pihak kakaknya bokap.
Akhirnya kita sampai di RS Jantung harapan kita. Seperti biasa mobil gue parkir dengan posisi mencong. kapan gue bisa parkir dengan benar memang masih sebuah misteri nomor dua versi on the spot. Kami sekeluarga menuju ke lantai dua, dan masuk ke sebuah ruangan kamar. Adek bersama bokap-nyokap gue masuk duluan, sementara gue pergi ke toilet sebentar untuk buang air kecil. Setelah tuntas buang air kecil gue pun masuk ke ruangan kamar yang sama.
Dalam satu kamar itu berisi sekitar 4 pasien. Gue melihat bou gue (Panggilan singkat untuk Amangboru) sedang terkapar lemah, rambutnya sudah tak ada sama sekali, dia sangat kurus, teramat kurus, dan Astaganaga! giginya habis semua! Apa yang terjadi dengan dirimu bou? bisik gue kepadanya. tapi dia sama sekali tak menjawab. kedua matanya terbuka namun terlalu lemah untuk mengeluarkan sepatah kata. Gue menangis.
Dari ruang sebelah gue mendengar suara nyokap memanggil.
“Den, kamu disitu ngapain? Ini bou disini!”
Krik!
Gue bergegas pindah ke sebelah, amangboru menyalami tangan gue dengan hangat, Senyum khasnya masih ada, Kondisinya sudah semakin membaik, hanya saja kali ini dia terlihat sangat kurus. Setelah tegur-sapa dan sedikit perbincangan, gue mencoba melihat kembali sekeliling, melihat seluruh pasien yang ternyata memang rata-rata sudah berusia diatas 60-an. Bahkan ada yang sudah berumur 81, yup pasien yang sempat salah gue jenguk tadi sudah berumur 81 tahun ternyata! gak heran kalau benapas saja sudah setengah mati, berbicara juga sudah gak mampu lagi, melihat hal ini membuat gue tergelitik dan berpikir Why do we must grow old and die anyway?
“Kalau ngeliat pasien-pasien disini, gue jadi takut tua nih dek.” Kata gue kepada adek gue.
Adek gue hanya menggumam. Dia sedang asyik twitteran di iPad.
“Coba deh, lo liat pasien-pasien sekeliling kita, kebayang gak sih lo kalau 50 tahun ke depan kita bakal jadi seperti mereka? Tua renta. Lemah. Ringkih. dengan kondisi jantung yang sudah susah payah memompa. Fuck! malesin banget! Gue pengen imortal! Seperti Vampire atau highlander. enak kali ya dek?”
Adek gue masih menggumam.
“Buat apa bila setiap ulang tahun kita didoakan semoga panjang umur, tapi ujung-ujungnya malah seperti pasien-pasien ini? hidup segan mati tak mau ini mah namanya.” Ucap gue yang semakin lama terlihat seperti sedang bicara dengan tembok karena adek gue yang kampret terlalu asyik dengan iPadnya.
Sepulangnya ke rumah, gue mencoba membuka laci meja kamar yang selalu jadi tempat sampah barang-barang pribadi. Dan tahu apa yang gue temukan disana? gue masih menyimpan kartu-kartu ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman gereja gue.
Gue mengambil kartu berwarna cokelat muda, sebuah kartu ucapan selamat ultah ke 17 tahun. Ah usia 17 tahun adalah usia dimana gue masih imut seperti Aaron carter versi Tarutung. Gue membaca ulang kartu-kartu ucapan selamat ultah yang lainnya. diantaranya ucapan selamat pada usia 18, 19, 20, 21, 22. Dan hampir semuanya tidak melewatkan kata-kata semoga panjang umur. Semoga panjang umur? Man! gue gak mau berumur panjang!! gue gak mau berumur hingga 81 tahun dengan kondisi jantung yang sudah lemah dan berakhir dirawat di rumah sakit dengan selang pada sekujur tubuh! Batin gue menggalau
Gue melihat cermin, menatap diri gue sendiri yang tahun ini akan beranjak 27 tahun. Sepuluh tahun lagi gue beranjak 37 tahun, dua puluh tahun lagi gue beranjak 57 tahun, 30 tahun lagi gue beranjak 87 tahun, dan pada saat gue mencapai usia itu kemungkinan besar gue akan berakhir seperti pasien-pasien tua di RS jantung harapan kita. Keluh gue.
Apa sebaiknya gue mati muda tahun ini di usia 27 tahun? dan berharap nama gue bisa masuk ke dalam daftar 27 club bersamaan dengan Kurt Cobain, Brian jones, Janis Joplin, Jim Morrison, Jimi Hendrix, dan Amy winehouse. Tapi gue sadar bila mereka semua adalah para musisi berbakat sementara gue main suling saja belepotan. Tentu ini akan menciderai perasaan mereka bila gue ikut-ikutan mati di usia 27.
Grand Indonesia
Sehabis main ke kosan adek gue di daerah thamrin, gue menyempatkan diri untuk mampir ke GI (Grand Indonesia). By the way itu mall sumpah gede banget. Gua sempet shock pas pertama kali masuk, ternyata ada juga tempat belanja yang lebih gede dari Indomaret. Lebay apeeuu deh.
Okay, ceritanya waktu itu gue sedang mampir ke Gramedia GI. Di depan Gramedia mata gue tertumbuk pada sosok kakek-kakek yang sudah tampak renta, ringkih, dan kepayahan. Beliau sedang duduk sendirian di kursi pengunjung. Gue mengamatinya dari kejauhan. kakek-kakek itu seorang diri, tidak ada sang nenek, anak atau cucu menemaninya, Kasihan, Kesepian sekali dia pastinya, Pikir gue. Tapi tunggu dulu, gue melihat dia mengeluarkan buku dari plastik dan mulai membacanya. Halaman demi halaman dia buka dengan teramat pelan. Entahlah, mungkin karena sudah terlalu tua dan lemah hingga membuka halaman saja menjadi sesuatu hal yang teramat berat.
Lama gue mengamati sang kakek membaca, dan akhirnya gue melihat ada senyum yang tersungging di wajahnya, Sesekali dia tertawa pelan. Pipinya yang sudah keriput ikut berguncang-guncang. Giginya yang kekuningan dan sudah tak lengkap tampak berseri. Gue pun ikut tersenyum melihat kejadian itu.
Namun seandaniya bila gue toh ditakdirkan untuk mencapai usia 80 emmmm.. Yang jelas harapan gue gak muluk-muluk, gue hanya berharap agar jantung ini tidak sakit-sakitan, tidak komplikasi, dan masih cukup kuat untuk mengantarkan gue ke toko buku, gue akan membacanya sendirian di kursi pengunjung. Dan bila nanti kalian melihat ada kakek-kakek sedang terlihat asyik membaca buku sembari tertawa-tawa kecil tolong kalian sapa. Kemungkinan besar itu gue yang sudah berumur 80 tahun.
We all are going to grow old and die anyway. no one can change that, and no one can stop that. It’s the part of nature itself. So try to have a good time when you are young, and when you’re getting old. the good time is your bestfriend already.
Something that you need to know about this blog:
- I write this blog based on my true experiences
- The name of the characters on this blog is not real anymore (Except my own character), I change it due to avoid some feuds, lawsuits, or even dead threats to me, my cats, and my dogs.
- I dramatize and exaggerate some parts in order to make a good story with a good punchline so that you can laugh your ass off and say “Hey this blog is funny! I love it!”
- I write this blog mostly on Friday night and Saturday night. Why? because that’s what forever alone dude do.
rama wibi (@RamaWibi)
August 24, 2012
nice post teman…