#hidupinisepertimujito

Posted on December 4, 2018

0


Jumat, 23 November 2018, bos gue memanggil semua stafnya untuk berkumpul di sebuah ruangan. Dengan bola mata yang berkaca-kaca, ia mengumumkan bahwa ia akan mengundurkan diri, atau lebih tepatnya mengajukan pensiun dini, dari tempatnya bekerja selama 29 tahun terakhir. Ia mengatakan hal itu kepada 10 anak buahnya. Anak buah adalah sebutan untuk kita, para bawahannya, yang sering ia ucapkan kepada atasan departemen lain, seperti misalnya, “Iya, sebentar, anak buah saya akan ambil dokumen tersebut,” atau, “Enggak masalah, anak buah saya bisa mengerjakannya.” Tiap kali ia mengucapkan kata anak buah, gue merasa seperti kuli bangunan, dan dia adalah mandornya. Beberapa dari kami mulai terisak, menangis, dan menundukkan kepala, sementara gue mulai menitikkan air mata. Air mata kebahagiaan, karena ternyata apa yang gue impi-impikan selama kurang lebih 8 tahun bekerja di perusahaan ini dijawab sudah oleh semesta lebih cepat. Menurut perhitungan kalender Suku Maya, bos gue ini akan pensiun kira-kira 5 tahun lagi, dan ada kemungkinan diperpanjang selama 1 tahun kembali. Jadi, total 6 tahun lagi gue harus menunggu dia sampai pensiun di usia 55. Tapi Tuhan tidak pernah lupa menjawab doa anak buah yang teraniaya selama 8 tahun terakhir. Mujito terkena sebuah masalah yang cukup pelik sebanyak 3 kali berturut-turut dalam kantor. Direktur Jepang kami tidak percaya lagi kepadanya dan melarang agar segala bentuk dokumen apa pun untuk tidak lagi ditandatangani oleh dirinya selaku manager, melainkan langsung ke assistant manager atau direktur. Mujito merasa kecewa. Ia merasa wewenangnya telah dicabut secara sepihak oleh Jepang kami. Kekecewaan beriak kencang dalam kolam hatinya. Malamnya, ia berdiskusi dengan istri mengenai keputusan pensiun dini. Sang istri memberikan lampu hijau, tetapi tidak kepada anak-anaknya karena alasan sedang mengikuti ujian perkuliahan. Keesokan harinya, ia langsung mengirimkan surat permohonan pensiun dini kepada pejabat atas di Human Resources Department. Sore harinya, ia mengumpulkan 10 anak buah-nya di sebuah ruangan. Mujito adalah atasan yang baik, setidaknya ia dikenal oleh banyak orang sebagai pribadi yang suka menghambur-hamburkan uang demi menyenangkan banyak orang. Misalnya, pada hari ulang tahunnya, ia tidak segan-segan mengeluarkan uang hingga jutaan demi mentraktir 100 orang yang berasal dari departemen lain. Mujito adalah sosok Sinterklas bagi orang lain, termasuk ketika gue menikah, 20 Desember 2016 silam. Mujito-lah yang memberikan uang amplop sebanyak Rp1.500.000, plus ia memberikan Rp1.000.000 secara cuma-cuma lagi untuk membiayai supir kami selama berbulan madu di Yogyakarta. Mujito juga kerap mentraktir semua anak buah-nya di sebuah restoran steak yang cukup mumpuni harganya. Ia bisa menghabiskan uang kisaran Rp2.000.000 hanya untuk mentraktir 10 anak buah-nya. Gue sendiri tidak tahu apakah istrinya di rumah, bila mengetahui hal ini, akan menjambak rambutnya atau tidak. Tapi bila tidak mau dikatakan boros, maka Mujito adalah bos yang paling loyal dari antara bos-bos lainnya di departemen lain. Sayangnya, Mujito bukanlah seorang pemimpin yang smart. Satu-satunya yang smart dari dia hanyalah ponselnya alias smartphone. Sebagai pemimpin sebuah departemen yang banyak melakukan komunikasi dengan pihak negara asing, Mujito juga tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Satu-satunya vocabulary bahasa Inggris yang ia hapal di luar kepala adalah YES, NO, dan ENTER. Sekilas memang mirip pada menu mesin ATM. Mujito juga tidak memiliki daya analisa yang tajam untuk mendedah setiap permasalahan dalam departemen yang terjadi. Sehingga, bila diminta untuk menjelaskan sesuatu kepada level direktur, Mujito selalu gelagapan. Biasanya, ia akan meminta anak buah-nya langsung untuk menjelaskan secara detail kepada direktur tersebut. Sementara itu, entah kebetulan atau disengaja, biasanya perutnya akan mulas mendadak, dan Mujito akan meminta izin kepada sang direktur untuk segera pergi ke toilet dan meninggalkan stafnya yang sedang memberikan penjelasan seorang diri. Ketika Mujito mengatakan bahwa dirinya akan pensiun dini, secara otomatis memori di kepala gue memutar setiap kesan baik dan buruk yang pernah gue alami selama menjadi anak buah-nya. Memori gue bersikeras untuk mencari kesan-kesan baik, dan memang yang didapat hanyalah sebatas traktiran makan bersama untuk kesan baik. Selebihnya, gue masih ingat bagaimana ia memanggil gue dengan arogan dan mengancam, “Kamu masih mau kerja di sini, kan ya?” atau laporan yang gue buat diberikan komentar sebagai “laporan abal-abal.” Gue pribadi agak sedih dengan nasib gue selama menjadi bawahan Mujito. Sedih karena dia sendiri tidak tahu untuk membedakan bagaimana meng-hide/unhide kolom pada Excel, namun bisa mengomentari laporan gue sebagai abal-abal. Tidak ada yang lebih nestapa ketika hasil karya lo dijelek-jelekkan oleh orang yang lebih minus. Tapi bagaimanapun juga, Mujito tetaplah gue anggap sebagai atasan gue. Terlebih dengan segala kekurangan dan sedikit kelebihan yang ia miliki, gue harus mengakui kalau dia adalah manusia biasa seperti gue, elo, dan kita semua. Dan gue berencana, bila ada waktu, mungkin gue akan menulis sebuah novel komedi dengan tema orang kantoran, di mana Mujito adalah sebagai bahan inspirasi gue. Judul novel yang gue tulis mungkin Mujito: An Office Comedy. Gue akan dan selalu merindukan dirimu. Something that you need to know about this blog:
  1. I write this blog based on my true experiences
  2. The name of the characters on this blog is not real anymore (Except my own character), I change it due to avoid some feuds, lawsuits, or even dead threats to me, my cats, and my dogs.
  3. I dramatize and exaggerate some parts in order to make a good story with a good punchline so that you can laugh your ass off and say “Hey this blog is funny! I love it!”
  4. I write this blog mostly on Friday night and Saturday night. Why? because that’s what forever alone dude do.
Posted in: Esai